Be the one who love everyone.It's better than be the one who beloved by everyone

Archive for the ‘Kisah Islami’ Category

Hal – Hal yang baik dapat berasal dari yang kecil

Hal – Hal yang baik dapat berasal dari yang kecil


Suatu ketika Nabi saw datang ke rumah Aisyah ra dan melihat seorang wanita sedang duduk bersamanya. Ketika beliau bertanya tentang wanita itu, Aisyah menjawab bahwa wanita itu adalah seorang wanita yang melakukan tahajud sepanjang malam tanpa tidur.

Nabi saw bersabda, “Itu tidak baik. Sebaiknya engkau melakukan perbuatan baik yang dapat kau lakukan seumur hidupmu.” Lalu beliau berkata, ” Demi Allah, Dia tidak akan lelah memberimu pahala atas perbuatan baik yang kau lakukan, tapi engkau yang akan merasa lelah dan menyerah. Jadi lebih baik bagimu apabila melakukan perbuatan baik yang dapat kau lakukan secara terus menerus. Ini akan mempunyai nilai lebih di hadapan Allah. ”

Sebuah perbuatan kecil yang baik yang dilakukan terus menerus adalah lebih baik dibandingkan perbuatan besar yang di lakukan terputus – putus.

Anas ra meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, ” Dari golongan mukminin yang akan merasakan siksa neraka adalah, pertama mereka yang imannya seperti sebutir biji jewawut. Kemudian, yang kedua adalah yang imannya seperti butir biji gandum, lalu yang ketiga, adalah mereka yang imannya seperti sebutir biji kacang.” (HR. Al-Bukhari)

Selamat Jalan Hana Sayang

Oleh Nurwidiana

Selamat Jalan Hana Sayang……

Pagi jum’at selepas sholat Subuh dan tilawah Qur’an, aku menerima telpon dari seorang teman dekatku, dengan suara serak dan nada sedih sahabat saya ini memberitakan kabar sedih “Wid, Hana sudah meninggal tadi pagi…. ” Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Berdetak jantungku mendengar anak kesayangan kawanku itu meninggal. Ya adik kecil yang baru berumur 5 tahun itu akhirnya berhasil menyelesaikan ujiannya pagi itu, InsyaAllah dengan predikat excellent.

Hana kecil yang menurut sahabatku ini selalu ceria dan aktif kini telah beristirahat dengan tenang. Dengan senyuman yang paling indah yang dimiliki, Hana pergi menjemput panggilan Rabbul Izzati. Cuma satu hal yang terfikir olehku saat itu adalah hana kecil saat ini telah menerima penghargaan berupa ijazah paling qualified yang diharapkan oleh setiap manusia di dunia ini, Ijazah husnul khatimah. Ijazah paling tinggi dengan pengikhtirafan dari zat Yang Maha tinggi, zat pemilik Alam semesta ini, Allah SWT.

Aku memang belum pernah berjumpa dengan Hana, semenjak Hana dibawa oleh orangtuanya untuk berubat di sini karena kanker otot. Walaupun sebenarnya aku pernah pergi ke rumahnya untuk sedikit keperluan, namun Allah belum mempertemukan kami, karena pada saat itu Hana kecil sedang dalam proses pengobatan di rumah sakit

Menurut cerita sahabatku, dua hari sebelumnya Hana nampak lebih sehat, bahkan Hana kecil menginginkan sepeda, yang kemudian dibelikan oleh sahabatku itu, Hana sempat menikmati sepeda barunya walaupun sebentar, sampai kemudian kondisinya drop dan kemudian meninggal.

Pagi pukul 8 aku bersama suami pergi menuju rumahnya, Alhamdulillah hari tersebut aku ambil cuti, sehingga aku bisa ziarah sekaligus berjumpa dengan adik Hana, walaupun perjumpaan ini lain dari pada yang lain tapi ini mencukupi untuk aku, aku ingin melihat wajahnya! Untuk yang pertama dan terakhir.

Apartment Intana Ria blok 7 tingkat 5 no 17. Deg…. Aku melihat tubuh kecil yang telah ditutup kain terbaring sangat tenang di atas kasur yang diletakkan diruang tamu rumah sahabatku ini, aku yakin inilah hana, namun aku tak kuasa untuk melihat wajahnya, air mata ini tak boleh ditahan. Aku duduk dengan pandangan lurus ke arahnya, tanpa sedikit berpaling darinya aku berdo’a untuknya. Hana sayang Allahummaghfirlaha….

Pelukanku dengan sahabatku memang aku rasa tak dapat menghilangkan kesedihan yang dia rasakan, namun untuk aku ya! Aku merasa mendapat taushiyah, dari apa yang telah beliau lakukan untuk merawat amanah Allah tersebut. Dengan kesabaran, ketegaran dan kasih sayangnya yang pastinya diberikan untuk sang anak tercinta. Sahabatku ini telah menjadi ibu yang baik untuk hana, ibu kesayangan Hana & Hellip. InsyaAllah

Akhirnya aku kuasa juga menghampiri Hana, Bismillah, aku buka kain yang menutupi tubuhnya, Subhanalloh, hana tengah tersenyum manis sekali……terlihat kelegaan dari raut wajahnya, mungkin saat itu dia telah mendapat kebahagiaan abadi, kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang diidamkan setiap insan muslim…. Allohummaghfirlaha, wa’fuanha

Menitik airmataku, Ya Allah, Takdir-Mu telah berlaku, ini adalah saat Hana, kali yang lain boleh menjadi giliranku, Hana boleh tersenyum bahagia…. Akankah aku demikian?…Dia hanya 5 tahun hidup didunia ini, tak ada dosa yang diperbuat oleh anak sekecil ini, olehnya seakan jelas jalan ke syurga.

Kesabarannya untuk menjalani ujian Allah berupa sakit kanker di usia yang masih sangat muda, aku rasa telah mencukupi baginya untuk mendapat “senyum dan keridoan Allah”, Bagaimana dengan aku, yang telah hidup hampir 33 tahun dimuka bumi ini, dengan banyak dosa yang telah aku lakukan. Ya Allah ampunilah aku, Berikan kepada kami akhir kehidupan yang baik.

Sempat aku berkata kepada kawanku yang sama-sama melihat wajah Hana, ” Subhanalloh ya hana sabar banget, rasanya kita harus lebih banyak belajar bagaimana bersabar yang baik dari anak kecil seperti Hana”. Temanku mengiyakan ungkapan aku tadi. Kita sering berfikir orang dewasa yang telah lebih dulu dan lebih lama hidup pasti lebih sabar dari anak kecil, karena mereka telah banyak merasakan asam garam kehidupan, tapi saat itu aku fikir ungkapan itu salah….

Banyak orang dewasa yang diberikan ujian seperti Hana, mereka lebih banyak menggerutu, menyesali diri dan banyak lagi respon yang menunjukkan ketidaksabaran, namun Hana, selain sabar menjalani pengobatan yang pastinya sakit, capek, namun dia tetap bisa tersenyum di depan bunda tercintanya, bahkan dia yang menghibur bundanya untuk tidak menangis, “Hana ok kok ummi, Hana nggak apa-apa, ummi jangan sedih..” MasyaAllah….

Ya Allah ajari kami untuk bisa bersikap sabar dalam setiap hal. Kesabaran seperti hamba kecilmu hana….

Selamat jalan Hana sayang, selamat tinggal Hana Asy-Syahidah…Tenanglah bersama penjagaan Allah di sana, damailah disebaik-baik tempat yang telah disediakan Allah untukmu sayang, karena Allah lebih mencintaimu bahkan berbanding cinta orangtuamu. Dan Semoga engkau menjadi pemberat amal kedua orangtuamu. Amin

(UA, Cheras, 14. 50.)

Karena Dirimu yang Lebih Indah

Oleh Cahaya Khairani

Wajah Rahma tersaput kabut. Gelisah hatinya tak mampu ia singkirkan. Meski telah berusaha tak memikirkan sindiran kakak-kakak iparnya, namun tetap saja sindiran mereka mengganggu perasaannya yang halus.

Belum genap satu tahun Rahma meninggalkan rumah kedua orang tuanya menuju Jakarta. Bersama gadis ciliknya yang baru berumur dua tahun, Rahma menyusul sang suami yang telah lebih dahulu ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Enam bulan sudah mereka hidup terpisah. Setelah sang suami memperoleh pekerjaan tetap barulah Rahma bersama gadis ciliknya menyusul ke Jakarta.

Di Jakarta, Rahma tinggal bersama keluarga besar sang suami dalam satu atap. Ada banyak kamar di rumah itu, setiap kamar berisikan kakak-kakak ipar dan keluarganya. Sisa kamar yang lain disewakan pada orang lain. Rahma dan gadis ciliknya menempati kamar sang suami. Hanya kamar sempit itu privacy mereka. Dapur dan kamar mandi digunakan bersama. Tak ada ruang tamu maupun ruang keluarga. Sungguh berbeda dengan rumah orang tuanya yang luas dan indah, namun selalu mengajarkan kesederhanaan.

Kakak-kakak sang suami, mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan yang selama ini di anut Rahma. Konsumtif dan Pragmatis, demikian gaya hidup yang di anut oleh keluarga besar sang suami, dan sedikit banyak juga mengalir dalam darah sang suami. Namun, karena ketaqwaan sang suami-lah gaya hidup konsumtif dan pragmatis itu tak terlalu meluap keluar. Apalagi di saat seperti ini, saat-saat di mana kondisi perekonomian keluarga mereka masih labil. Gaji sang suami yang belum lama kerja dan masih berstatus karyawan kontrak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan susu si kecil. Dengan kondisi begini tak mungkin mengikuti gaya hidup konsumtif kakak-kakak sang suami. Kalaupun perekonomian keluarga mereka stabil, Rahma tetap tak berminat menganut gaya hidup seperti itu.

Perbedaan gaya hidup. Ini-lah yang kemudian menimbulkan ketidak cocokan antara Rahma dan kakak-kakak iparnya. Hampir setiap hari kakak-kakak iparnya berbelanja barang baru. Bukan masalah bagi Rahma. Tak sedikitpun rasa iri terlintas di hatinya bila kakak-kakak ipar memamerkan barang belanjaan mereka. Menjadi masalah bagi Rahma, bila kakak-kakak iparnya itu mulai menyindir dirinya yang hampir tak pernah berbelanja.

Seperti hari ini, kakak-kakak ipar menyindirnya karena tak satu pun perhiasan emas yang menggantung di pergelangan tangan ataupun lehernya. Hanya sebuah cincin nikah saja yang melingkar di jari tengahnya, itu pun pemberian ibu mertua. Begitu pula gadis ciliknya. Tak satupun emas menghiasi anggota tubuh gadis ciliknya itu.

Semula Rahma tak peduli, namun karena tak sekali dua kali kakak-kakak ipar menyindirnya, mau tak mau, suka tidak suka, Rahma hanya dapat berdiam diri walau hati teriris-iris.

“Apakah… Perempuan harus memakai perhiasan….?” Tanya Rahma pada sang adik yang tengah berkunjung dari perantauannya di Yogya. Namun pertanyaan Rahma lebih mirip sebuah gumaman. Sang adik, yang seketika menangkap kegelisahan dan kesedihan di hati kakaknya mencoba ber-empati.
“Ada apa, Kak…?” Tanya sang adik penuh perhatian. Rahma menghela nafas berat sebelum menjawab.
“Kakak-kakak ipar. Sering nyindir kakak dan keponakanmu karena gak pernah pakai perhiasan….”

Sang adik menatap wajah kakaknya. Ia dan kakak sejak kecil saling menyayangi. Selisih usia yang terpaut cukup jauh membuatnya merasa puas dengan kedewasaan dan sifat keibuan sang kakak. Bila ia menangis, kakak akan menghapus air matanya. Bila ia mengantuk, kakak membuainya dengan dongeng sebelum tidur. Kakak juga yang melatihnya melafalkan huruf “R” sehingga lidahnya tak lagi cedal bila membunyikan huruf itu. Dan ketika ia memasuki usia baligh, kakak lah yang mengajarkan dirinya menutup aurat. Kini, sang kakak terlihat kuyu di hadapannya. Betapa inginnya ia menghapus kegalauan hati sang kakak.

“Kenapa harus pakai perhiasan, tanpa perhiasan pun kakak adalah perhiasan yang paling indah….”

Rahma terpana mendengar ucapan sang adik. Kata-kata sang adik yang baru saja didengarnya bagaikan embun yang menyejukkan jiwanya. Ingin sekali lagi ia mendengarnya.

“A..Apa, Dik?”, Tanya Rahma. Sang adik menghadapkan tubuhnya pada Rahma untuk memperjelas ucapannya.

“Wanita Sholehah itu kan sebaik-baiknya perhiasan, Kak… jadi kakak gak perlu sedih karena gak pakai perhiasan. Perhiasan itu ada dalam diri kakak. Lebih indah malah…”

Mendengar perkataan sang adik, wajah Rahma berubah cerah. Rasa percaya dirinya kembali mengembang. Sang adik telah menghempaskannya pada sebuah kesadaran. Untuk apa sibuk memikirkan dan mengumpulkan perhiasan dunia, bukankah lebih baik sibuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas ibadah agar menjadi wanita sholehah? Bukankah wanita sholehah adalah perhiasan yang lebih indah dari perhiasan manapun di dunia? Tak perlu emas dan permata untuk percaya diri. Tak butuh berlian untuk tampil mempesona. Kesholehan telah mencakup itu semua.

Rahma tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah sang adik lihat.
“Terima kasih, adikku….”
Kakak beradik itu pun berpelukan.

Dunia adalah perhiasan.
Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah.

Jogjakarta, Juni 2007 -Cahaya Khairani-